Pages

Ads 468x60px

Senin, 05 Desember 2011

Zakat VS Pajak, Mau Pilih yang Mana? Oleh Reza Irfansyah (Departemen Komunikasi dan Informasi DKM FISIP UNPAD//Ilmu Administrasi Negara 2009)

Bismillah

Dalam penyelenggaraan suatu negara tentunya dibutuhkan dana. Tanpa dana, mustahil suatu negara dapat bertahan hidup. Right? Dana itu dapat didapatkan dari pajak, penerimaan negara bukan pajak, utang luar negeri atau hibah dari negara donor. Jika hanya mengandalkan utang luar negeri, maka lama kelamaan negeri ini akan dipaksa untuk berutang kembali karena tidak mampu membayar utangnya terdahulu. Seperti yang dilakukan oleh lembaga donor macam IMF. Bila mengandalkan hibah dari negara lain, sama saja merendahkan harga diri bangsa ini di mata dunia. Penerimaan negara bukan pajak tidak terlalu berpengaruh pada pendatan negara. Nah, pajak merupakan sumber keuangan negara yang utama.

Sekilas tentang pajak
Pajak diartikan oleh Rochmat Soemitro sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Tercatat bahwa pada tahun 2011 pajak memberi sumbangsih sebesar sekitar 73% untuk tahun 2010, sekitar 75% untuk tahun 2011, sekitar 79% untuk tahun 2012. dari data tersebut kita bisa melihat bahwa penerimaan perpajakan bersifat fluktuatif tidak cenderung selalu meningkat setiap tahunnya dan juga tidak cendrung menurun setiap tahunnya. Orang bijak bayar pajak, itu kata-kata di iklan. Namun, ada benarnya juga kawan. Muslim yang baik dan benar wajib bayar zakat. Itu kalimat Allah Swt di dalam Al-Qur’an

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ. لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Al-Ma’arij: 24-25).

Sekilas tentang zakat

Zakat merupakan ibadah maliyah (ibadah dalam wujud menyerahkan harta). Disebut zakat, karena secara bahasa berarti التَّطْهِيرُ وَالنَّمَاءُ suci dan tumbuh yaitu mensucikan atau membersihkan orang yang berzakat dari kotoran dosa, sikap kikir dan bakhil. Juga membersihkan harta dari yang telah dikeluarkan tersebut. Disebutkan tumbuh, karena zakat tersebut akan menumbuhkan harta dan menjadi sebab tumbuhnya berkah.
Dalam ajaran zakat terkandung pesan moral untuk bersikap lemah lembut terhadap para fakir, miskin, dan orang-orang yang memerlukan bantuan. Melalui syariat zakat ini, terpintal hikmah kokohnya jalinan distribusi harta dari para hartawan kepada para fakir yang membutuhkan. Hingga orang-orang yang tidak mampu secara finansial bisa dibantu melalui dana jaminan sosial (istilah sekarang) yang terkumpul melalui penggalangan zakat. Inilah salah satu hikmah adanya zakat. Karena sesungguhnya, harta yang dimiliki seseorang senyatanya merupakan pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan atas dasar kemampuan, kekuatan, atau kepandaian yang dimilikinya. Tapi, harta itu semata-mata dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantaran itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memfardhukan kepada orang-orang yang berharta untuk menyerahkan hak saudara-saudara mereka yang tergolong fakir. Yaitu, berupaya menyedekahkan harta yang telah mereka dapatkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 254). Lantas bagaimana kondisi kita yang satu sisi sebagai muslim, dan sisi lainnya sebagai negarawan pula? Solusinya satu, sebagai muslim negarawan kita harus taat bayar zakat dan pajak. Setuju?


Indonesia sebagai negara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa memiliki potensi pajak yang besar. Mayoritas penduduk beragama islam, dengan presentasinya sebesar 78%, berarti juga memiliki potensi zakat yang luar biasa. Walaupun tax ratio indonesia meningkat menjadi 13,6%, hal ini dapat dikatakan sangat sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan tax ratio di Eropa yang mencapai 33%. Survey PIRAC (Publik Interest Research and Advocacy Center) tahun 2004 terhadap responden yang beragama Islam di 11 kota besar di Indonesia yang meliputi Jakarta, Bandung,Semarang, Surabaya, Medan, Padang, Denpasar, Manado, Makassar, Pontianak dan Balikpapan, menunjukkan potensi zakat per tahun mencapai Rp4,45 triliun, dan diperkirakan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp9,09 triliun. Survey juga menunjukkan 94,5% responden menyatakan dirinya sebagai muzakki dengan rata-rata nilai zakat sebesar Rp416.000,00/muzakki/tahun dan tahun 2007 meningkat menjadi 95,5% dengan rata-rata nilai zakat sebesar Rp684.550,00/muzakki/tahun. Peningkatan tersebut tidak selalu linier dengan kesadaran membayar zakat dari golongan yang secara ekonomi lebih mapan. Hasil survei tentang perilaku membayar zakat terhadap responden yang secara ekonomi lebih mapan justru cenderung mengabaikan kewajiban berzakat. Hanya 49,8% yang sadar zakat dan sedikit mengalami peningkatan menjadi 55% ketika disurvey kembali pada tahun 2007. Memang, ketika besar zakat masih recehan, orang tidak keberatan mengeluarkannya, tapi ketika zakat sudah mencapai jutaan, orang mulai berpikir untuk menzakatkannya. Oleh karena itu adanya klausul zakat mengurangi pajak menjadi begitu penting.

Kondisinya di Indonesia saat ini, wajib pajak adalah muzakki juga. Seperti tertuang di Undang-Undang No. 17 tahun 2000. Jadi, Orang atau badan yang telah menunaikan zakat tidak berarti dia bebas pajak. Hal ini lah yang menjadi dualisme di Indonesia. Mari kita bandingkan sejenak. Zakat perintahnya dari Allah Swt. Pajak diatur oleh negara. Tarif pajak beragam mulai dari 10% untuk Pajak Pertambahan Nilai, ada pula yang bersifat progresif, ada juga yang disederhanakan menjadi dua tarif seperti bea materai. Namun zakat tidak serumit demikian. Pajak diatur oleh undang-undang yang senantiasa diamandemen. Zakat diatur sedemikian rupa oleh Al-quran, dan tidak berubah sejak dahulu.

Jadi bagaimana kita menyikapinya? Apakah harus menunaikan zakat saja? Lalu mengabaikan pajak? Menurut pendapat saya, melihat kondisi saat ini di negeri kita tercinta ini, kita wajib melaksanakannya. Menunaikan zakat sebagai bagian dari rukun islam. Dan tentunya membayar pajak sebagai warga negara yang dermawan. Toh maksud keduanya baik kok. Sama-sama memberikan sebagian hak kita kepada mereka yang berhak. Juga turut serta dalam membangun bangsa. Right?

Kita dapat melihat kasus di Malaysia sebagai pengintegrasian antara pajak dan zakat. Di sana jika seseorang telah membayar zakat, maka ia otomatis telah membayar pajak. Muzakki umumnya langsung membayar zakat ke lembaga zakat dan di lain pihak juga tetap membayar pajaknya secara penuh kepada negara. Umat Islam Indonesia menunggu keseriusan pemerintah dalam penerapan zakat sebagai pengurang pajak (tax deductable) seperti di Malaysia. Wacana ini disambut gembira oleh para pengusaha. Melalui undang-undang tersebut para pengusaha tidak terkena kewajiban ganda, zakat dan pajak. Insentif pajak bagi donasi juga telah berlaku di beberapa negara Eropa dan Amerika, bahkan juga di Malaysia. Ada kekhawatiran bahwa jika zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Data di Malaysia menunjukkan bahwa selama tahun 2001-2005 dengan adanya undang-undang zakat mengurangi pajak, perolehan zakat di negara tersebut terus meningkat. Tahun 2005 perolehan zakat dari 12,5 juta penduduk yang muslim mencapai RM 573 juta atau Rp1,4 trilyun.

Terakhir, saya ingin mengajak pada diri sendiri dan para pembaca untuk menunaikan zakat dan pajak. Sembari menunggu jikalau konsep integrasi zakat dan pajak diberlakukan di Indonesia. Membayar zakat dan pajak tidak akan membuat harta kita terkuras habis, tetapi justru insyaallah akan bertambah. Membayar zakat diganjar dapat dirasakan di akhirat kelak, sedangkan membayar pajak dapat kita rasakan manfaatnya di dunia. Jadi sebagai muslim negarwan, kita wajib melaksanakan keduanya. Right?

Wallahuallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About