Padahal, semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas, dengan kandungan ikan yang diperkirakan mencapai 6,2 juta ton. Belum lagi mutiara, minyak dan kan-dungan mineral lainnya, termasuk di dalamnya keindahan alam bawah lautan. Dari potensi ikan saja, diperkirakan bisa didapat devisa lebih dari 8 milyar US dollar setiap tahunnya. Sementara, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak yang juga termasuk cukup besar. Kan-dungan emas di bumi Papua konon termasuk yang terbesar di dunia.
Tapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia terpuruk di segala bidang. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan 40 juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehi-dupan bertambah berat seiring dengan kenaikan hargaharga yang terus menerus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan mudah mendo-rongnya melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, peram-pokan, pencurian, pembunuhan, pelacuran, sampai pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Sepanjang krisis, krimi-nalitas dilaporkan meningkat 1000%, angka perce-raian meningkat 400%, sementara penghuni rumah sakit jiwa meningkat 300%.
Di sisi lain, sekalipun pemerintahan telah berulangkali berganti, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terwujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak kesalahannya? Pada sistem yang digunakan dalam menata negara Indonesia ini atau pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah, ataukah keduanya? Dan yang paling penting, apa yang harus kita lakukan?
Akar Masalah dan Solusi Fundamental
Dalam pandangan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh karena tindakan manusia sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia. (QS. Ar Rum: 41).
Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bi ma kasabat aydi al-anas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiatan-kemak-siatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan mening-galkan yang diwajibkan. Setiap bentuk kemaksiatan pasti menimbulkan dosa. Dan setiap dosa pasti me-nimbulkan kerusakan (fasad).
Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali ke-maksiatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, Islam hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial ke-masyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedo-nistik, kehidupan sosial yang egoistik dan indivi-dualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, ke-giatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna disangka justru meng-hambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk terwujudnya kesejahteraan umum melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya. Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih.
Sementara itu, sikap beragama sinkretistik menyebabkan sebagian umat Islam telah meman-dang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT. Sedang-kan sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek.
Semua rakyat Indonesia tentu menginginkan agar negeri ini segera terbebas dari segala krisis yang sudah menjerat lebih dari 4 tahun ini. Masalahnya, bagaimana caranya? Sekadar mengganti pemerintahan terbukti tidaklah mencukupi. Semenjak krisis, sudah 4 presiden berganti-ganti memimpin Indonesia, tapi tetap saja krisis tidak kunjung berakhir. Jelas bahwa krisis ini ditimbulkan bukan hanya karena birokrat yang memimpin tidak amanah, korup dan tidak cakap, tapi juga ditimbulkan oleh buruknya sistem yang selama digunakan sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik dan paradigma pendidikan yang materialistik serta sisi kehidupan sekuler lainnya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya hanyalah buah atau merupakan problema-problema cabang yang muncul dari diterapkannya sistem kehidupan sekuleristik tadi. Karena itu sistem tersebut harus diganti.
Persoalannya, sistem mana yang harus di-pilih? Memilih sistem kapitalisme sama saja dengan terus mempertahankan krisis, oleh karena sistem kepitalisme itulah yang menjadi pangkal terjadinya krisis bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara-negara lain termasuk AS, gembong kapitalisme. Memilih sosialisme-komunisme juga tidak logis karena sistem itu telah bangkrut dan bahkan ditinggalkan para pemeluknya sendiri. Satu-satunya alternatif hanyalah Islam.
Lagi pula, mengingat beratnya persoalan atau krisis yang dihadapi, maka semua itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi fundamental dan integral. Secara fundamental, karena semua problema yang ada sesungguhnya berpangkal pada sistem yang terlahir dari pandangan hidup yang salah, yaitu sekulerisme. Juga menghendaki solusi yang integral oleh karena kerusakan yang terjadi telah menyentuh semua sendi kehidupan manusia. Penyelesaian yang parsial tidak akan menyelesaikan secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan sebaliknya bisa memicu problema baru yang mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi fundamental dan integral yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam.
Hakikat Syariah dan Keharusan Penerapannya
Secara bahasa, syariat (al-syarî’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-mâ’ li al istisqâ) atau jalan lurus (at-tharîq al-mustaqîm). Sedang menurut istilah, syariah bermakna: perundang-undangan yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman, pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jadi, setiap hukum yang digali dari sumber-sumber hukum Islam merupakan hukum syariat (al-ahkâm asy-syar’iyyah) atau biasa disebut syariah saja. Karena-nya, syariat Islam mencakup berbagai perkara, mulai dari cara berwudhu hingga cara mengatur masya-rakat dan negara dalam aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya. Jadi, yang disebut syariat Islam bukanlah sekadar sanksi hukum pidana (hudûd wal jinayat) semata, melainkan seluruh hukum bagi semua aspek kehidupan.
Maka, perjuangan bagi tegaknya syariat Islam di negeri ini jelas sangatlah penting. Secara imani, perjuangan itu merupakan tuntutan aqidah Islam. Secara faktual, sistem apalagi yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis multidimensi yang kini tengah dihadapi Indonesia bila bukan syariat Islam, setelah sosialisme hancur dan kapitalisme terbukti makin loyo? Dan secara operasional, pemberlakuan syariat Islam kiranya juga akan nyambung dengan denyut nadi iman atau keyakinan mayoritas penduduk negeri ini yang muslim. Bila itu bisa diujudkan, maka gagasan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi bagian dari ibadah setiap muslim akan dapat diujudkan secara nyata.
Pelaksanaan syariah oleh negara sesungguhnya merupakan perkara yang sudah diketahui kewajibannya dalam Islam (ma’lumun min al-dini bi al-dharurati) sebagaimana telah diketahuinya kewajiban shalat, zakat, haji dan sebagainya. Bah-kan sejatinya, berdirinya negara dengan segenap struktur dan wewenangnya dalam kacamata Islam memang adalah untuk menyukseskan pelaksanaan syariah, sebagai wujud nyata pelaksanaan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Maka perjuangan bagi penegakan syariat Islam bagi seorang muslim juga merupakan sebuah kemestian. Diyakini bahwa tidak akan pernah ada kemuliaan kecuali dengan Islam, dan tidak ada Islam kecuali dengan syariat, serta tidak ada syariat kecuali dengan adanya daulah.
Diyakini, hanya syariah Islam sajalah yang mampu menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit negara ini, baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan, setelah ideologi kapitalisme dan sosialisme gagal memenuhi harapan. Penerapan syariah juga akan membawa masya-rakat Indonesia yang mayoritas muslim itu lebih dekat kepada suasana religiusitas Islam sebagai perwujudan dari misi hidup beribadah kepada Allah SWT.
Maka dari itu, kita sebagai umat islam yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sudah sepantasnyalah kita mengambil hukum Allah(syariat islam) sebagai aturan hidup kita dalam mengatur segala aspek kehidupan. Allahuakbar
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.”(TQS. Al-Ahzab : 36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar